13 Juni 2024 – Pagi | 20240613

MINGGU III SESUDAH PENTAKOSTA


BERDAMAI DENGAN DIRI SENDIRI

Kejadian 41:50-52
41:50 Sebelum datang tahun kelaparan itu, lahirlah bagi Yusuf dua orang anak laki-laki, yang dilahirkan oleh Asnat, anak Potifera, imam di On. 41:51 Yusuf memberi nama Manasye kepada anak sulungnya itu, sebab katanya: “Allah telah membuat aku lupa sama sekali kepada kesukaranku dan kepada rumah bapaku.” 41:52 Dan kepada anaknya yang kedua diberinya nama Efraim, sebab katanya: “Allah membuat aku mendapat anak dalam negeri kesengsaraanku.”


“…Allah telah membuat aku lupa sama sekali akan kesukaranku dan rumah ayahku…” (ay.51)
..Aku belum mampu mencerna tapi aku mampu merasakan, merekam, dan mengenang…”, ujar CDW (40 tahun) yang memilih melajang akibat pengalaman kekerasan di masa kecil hingga dewasanya. Baginya, “home sweet home” (rumah adalah tempat termanis) tidak lebih dari sekadar slogan. Penelitian Ana Catarino dkk, menyatakan bahwa trauma mendalam bisa memengaruhi otak menghapus memori untuk melindungi diri dari rasa sakit.
Yusuf menamai anak sulungnya Manasye, yang berarti “Allah telah membuat aku lupa sama sekali akan kesukaranku dan rumah ayahku (ay. 51). Sangat mungkin bahwa Yusuf mengalami trauma sehingga penamaan Manasye dapat diartikan sebagai caranya mengatasi trauma, sekaligus mengekspresikan pembebasan dirinya dari masa lalu yang menyakitkan dan kesulitan yang dia alami. Kelahiran Manasye dan Efraim juga menjadi titik balik dalam hidupnya, di mana sebagai ayah, Yusuf melihat masa depan dengan perspektif yang baru dan lebih positif. Tentu, ini berkat pertolongan dan penyertaan Allah (ay. 52).
Berdamai dengan diri sendiri, khususnya bagi yang terluka dan trauma, adalah perjalanan panjang yang melibatkan penerimaan dan pengampunan. Proses ini meminta pemahaman mendalam dan keterbukaan untuk mengatasi luka masa lalu. Di dalam Kristus, ini berarti mempercayakan luka kita kepada Allah, menguatkan relasi dengan-Nya, berdoa dan introspeksi untuk pulih dan memaafkan. Kita diajak untuk terus berkarya meski terluka, menemukan kelegaan dalam ekspresi dan inovasi diri, serta memaknai pengalaman pahit sebagai kesaksian untuk menguatkan orang lain. Dengan demikian, kita tidak hanya menyembuhkan diri sendiri, tetapi juga membantu sesama dengan pengalaman serupa. Tuhan memanggil kita menjadi pendamai dan pemulih. Selamat berproses menuju pemulihan, semoga kita dapat menjadi berkat bagi sesama yang terluka.


Sumber: [SBU – 13 Juni 2024 | Pagi]

Doa: (Tuhan, jiwa terluka kami bawa untuk dipulihkan di dalam nama-Mu, dan utuslah kami menjadi pemulih)