MINGGU III PRAPASKAH
TUHAN MEMBENARKAN YANG TERSISIH
Lukas 18:13-14
18:13 Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. 18:14 Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”
Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (ay.14)
Mengakui kesalahan bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Seringkali orang tua yang telah melakukan kesalahan kepada anaknya enggan untuk mengakui dan meminta maaf. Oleh karena rasa gengsi, dengan berbagai cara kita berusaha untuk menutupi kesalahan. Disadari atau tidak, dengan cara demikian kita membiarkan kesalahan itu meracuni hidup kita.
Pemungut cukai yang dipandang masyarakat Yahudi sebagai orang yang berdosa, bahkan diberi stigma sebagai ‘sampah masyarakat karena bekerja untuk Romawi dan sering melipatgandakan pajak untuk kepentingan diri sendiri datang ke Bait Allah untuk berdoa. Sebagai rumah bersama, gereja hendaknya menjadi tempat yang ramah dan terbuka bagi setiap orang yang rindu datang untuk menyembah atau berdoa kepada Tuhan. Pemungut cukai itu datang kepada Tuhan dengan penuh kerendahan diri dan penyesalan akan keberdosaannya. Penyesalan itu ditunjukkan dengan cara memukul dirinya. Dengan hati yang penuh penyesalan, ia memohon Allah mengasihi dia orang yang berdosa. Tanpa malu, pemungut cukai itu mengakui diri sebagai orang berdosa di hadapan Tuhan. Dosa bukanlah sesuatu yang layak untuk ditutupi atau disembunyikan karena Allah Mahatahu. Setiap orang yang menyadari dan mengakui kehinaannya sebagai orang berdosa, serta memohon pengampunan di hadapan Allah akan dibenarkan-Nya. Sebaliknya, siapa saja yang memegahkan diri di hadapan Allah akan direndahkan.
Melalui narasi pengakuan pemungut cukai ini, penulis Injil Lukas hendak menyampaikan tentang sikap yang berkenan di hadapan Allah, yaitu kesadaran akan ketidaklayakan diri dan kesediaan untuk memohon pengampunan-Nya. Tuhan bersedia memperhatikan orang yang demikian dalam anugerah kasih-Nya. Oleh karena itu, pembenaran yang kita terima melalui iman adalah anugerah, bukan bonus atau upah. Selayaknyalah kita bersyukur atas anugerah itu.
Sumber: [SBU – 13 Maret 2024 | Malam]
Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (ay.14)
Mengakui kesalahan bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Seringkali orang tua yang telah melakukan kesalahan kepada anaknya enggan untuk mengakui dan meminta maaf. Oleh karena rasa gengsi, dengan berbagai cara kita berusaha untuk menutupi kesalahan. Disadari atau tidak, dengan cara demikian kita membiarkan kesalahan itu meracuni hidup kita.
Pemungut cukai yang dipandang masyarakat Yahudi sebagai orang yang berdosa, bahkan diberi stigma sebagai ‘sampah masyarakat karena bekerja untuk Romawi dan sering melipatgandakan pajak untuk kepentingan diri sendiri datang ke Bait Allah untuk berdoa. Sebagai rumah bersama, gereja hendaknya menjadi tempat yang ramah dan terbuka bagi setiap orang yang rindu datang untuk menyembah atau berdoa kepada Tuhan. Pemungut cukai itu datang kepada Tuhan dengan penuh kerendahan diri dan penyesalan akan keberdosaannya. Penyesalan itu ditunjukkan dengan cara memukul dirinya. Dengan hati yang penuh penyesalan, ia memohon Allah mengasihi dia orang yang berdosa. Tanpa malu, pemungut cukai itu mengakui diri sebagai orang berdosa di hadapan Tuhan. Dosa bukanlah sesuatu yang layak untuk ditutupi atau disembunyikan karena Allah Mahatahu. Setiap orang yang menyadari dan mengakui kehinaannya sebagai orang berdosa, serta memohon pengampunan di hadapan Allah akan dibenarkan-Nya. Sebaliknya, siapa saja yang memegahkan diri di hadapan Allah akan direndahkan.
Melalui narasi pengakuan pemungut cukai ini, penulis Injil Lukas hendak menyampaikan tentang sikap yang berkenan di hadapan Allah, yaitu kesadaran akan ketidaklayakan diri dan kesediaan untuk memohon pengampunan-Nya. Tuhan bersedia memperhatikan orang yang demikian dalam anugerah kasih-Nya. Oleh karena itu, pembenaran yang kita terima melalui iman adalah anugerah, bukan bonus atau upah. Selayaknyalah kita bersyukur atas anugerah itu.