GEREJA YANG INTIM DAN SUPORTIF
1 Tesalonika 2:10-12
2:10 Kamu adalah saksi, demikian juga Allah, betapa saleh, adil dan tak bercacatnya kami berlaku di antara kamu, yang percaya. 2:11 Kamu tahu, betapa kami, seperti bapa terhadap anak-anaknya, telah menasihati kamu dan menguatkan hatimu seorang demi seorang, 2:12 dan meminta dengan sangat, supaya kamu hidup sesuai dengan kehendak Allah, yang memanggil kamu ke dalam Kerajaan dan kemuliaan-Nya.
“Kamu tahu, betapa kami, seperti bapa terhadap anak-anaknya, telah menasihati kamu dan menguatkan hatimu seorang demi seorang” (ay. 11 TB 2).
Fenomena “fatherless” atau ketiadaan peran ayah merupakan realita yang mengkhawatirkan. Tidak sedikit anak-anak yang mengalami defisit pengasuhan, dalam artian kekurangan kasih sayang, perhatian, didikan, nasihat, motivasi dari ayah mereka. Dalam berbagai pemberitaan, Indonesia disebut-sebut sebagai negara ketiga di dunia dalam hal ketiadaan peran ayah terhadap anak-anaknya.
Paulus, memposisikan diri seperti layaknya seorang ayah yang memahami dan menjalankan perannya dengan baik. Peran yang dimaksud di sini ialah kehadiran seorang ayah yang bukan hanya saleh, tetapi yang juga memiliki kedekatan emosional dengan anaknya yakni dengan memberikan nasihat dan penguatan hati bagi jemaat Tesalonika. Kedua hal tersebut sangat relevan dengan kebutuhan mereka mengingat keberadaan mereka yang masih baru menjadi pengikut Kristus dan juga adanya berbagai tantangan dan godaan yang datang dari konteks sekitar mereka. Itu sebabnya di ayat 12 Paulus sangat menekankan agar mereka tetap menjaga kehidupan mereka berpadanan dengan kehendak Allah. Analogi relasi antara ayah anak yang digunakan Paulus ini memberikan gambaran tentang pentingnya relasi keintiman dan suportif di tengah konteks persekutuan dan pelayanan.
Sekarang ini, tidak sedikit gereja yang kehilangan suasana keintiman dan suportif dalam persekutuan dan pelayanannya. Hal ini terjadi karena maraknya kecenderungan untuk menghindari percakapan mendalam. Brené Brown, dalam bukunya, Dare to Lead (2018) menuliskan, “Kita menghindari percakapan yang sulit, termasuk memberikan masukan yang jujur dan produktif.” Ini berbahaya bagi gereja karena akan membawa pada suasana yang dingin. Dampak lanjutannya, banyak orang tak lagi menemukan dan merasakan sua- sana suportif di gereja. Mari belajar dari Paulus, yang menjadikan suasana keintiman dan suportif sebagai hal yang signifikan dalam persekutuan dan pelayanan.
Sumber: [SBU – 12 September 2024 | Pagi]
Doa (Ya Tuhan, jadikan kami umat-Mu yang sedia dan setia membangun kehidupan bergereja yang penuh dengan keakraban dan suasana saling mendukung)